Gemuk Bukan Perlambang Kemakmuran

perempuan gemuk

Kesuburan tubuh atau kegemukan identik dengan lambang kemakmuran. Suka atau tidak, pandangan itu tumbuh dalam berbagai budaya di Indonesia. Meningkatnya kesejahteraan masyarakat, akses lebih mudah terhadap pangan olahan dan siap saji, serta maraknya konsumerisme membuat jumlah penduduk gemuk di Indonesia terus melonjak.

Masyarakat Jawa, menurut dosen Antropologi Kesehatan Universitas Indonesia, Sri Murni, di Jakarta, Senin (2/6), memandang kegemukan sebagai salah satu indikator peningkatan kesejahteraan. Namun, sejatinya, pandangan mereka tentang tubuh ideal adalah langsing, bak putri keraton. Migrasi ke kota besar, kemapanan ekonomi, dan naiknya status sosial membuat nilai ideal itu tergusur.

Hal sama ada pada masyarakat Batak. Saat masih bujang, seorang gadis dituntut langsing. Namun, ketika sudah menikah, ia harus bertambah gemuk. ”Jika tidak, suami akan dicemooh oleh keluarga besar mereka karena dianggap tidak mampu menafkahi istrinya,” katanya.

Konsep kesuburan badan sebagai lambang kesejahteraan juga ada pada masyarakat Bugis dan Indonesia timur lainnya. Dosen Antropologi Kesehatan Universitas Hasanuddin, Makassar, Yahya, Rabu (11/6), mengungkapkan, seiring meningkatnya daya beli, masyarakat mencoba menikmati apa pun yang mampu mereka beli.

Sayangnya, peningkatan kemampuan membeli itu tidak disertai keterampilan memilih makanan yang baik, sehat, dan sesuai kebutuhan tubuh. Akibatnya, produk makanan olahan, siap saji, dan impor yang sebenarnya tidak sehat karena kaya lemak, garam, dan gula justru dianggap bergengsi: simbol modernitas dan kemajuan.

”Makin tinggi ekonomi masyarakat, makin selektif memilih makanan,” katanya. Sementara masyarakat dengan ekonomi baru menanjak justru mengonsumsi apa pun yang bisa dibeli.

Makanan berserat yang menyehatkan bukan pilihan. Meski termasuk negara agraris, konsumsi sayur dan buah masyarakat Indonesia amat rendah.

Bahkan, dalam beberapa budaya, istilah sayur diidentikkan dengan makanan berkuah, bukan dedaunan hijau kaya vitamin dan mineral. Pandangan itu membuat mi instan berkuah juga dianggap sebagai sayur.

Budaya patriarki juga makin mengukuhkan perilaku konsumsi masyarakat. Masyarakat cenderung meniru patron mereka, termasuk dalam pola konsumsi dan ukuran tubuh.

Meski demikian, pandangan masyarakat tentang kegemukan tentu tidak linier, tidak otomatis makin gemuk makin makmur. Ada batasan tertentu yang menjadikan kegemukan masih dipandang ’sehat’ atau dianggap sudah ’tidak sehat’.

Namun, batasannya sangat relatif, sama dengan batasan gemuk ’cantik’ atau gemuk ’tidak cantik’. Dalam kesehatan, seseorang disebut kegemukan jika indeks massa tubuh (IMT)-nya lebih besar dari 25, baik masih dalam tingkat berat badan berlebih maupun sudah obesitas.
Kelompok rentan

Di negara berkembang seperti Indonesia, perempuan lebih rentan gemuk dibandingkan laki-laki. Di negara maju, kondisinya berkebalikan.

Pakar kesehatan global Institut Pengukuran dan Evaluasi Kesehatan (IHME) Amerika Serikat, Ali Mokdad, kepada BBC, Kamis (29/5), mengatakan, perempuan di negara berkembang dituntut mampu mengerjakan banyak hal sekaligus, bekerja sambil mengurus keluarga. ”Akibatnya, mereka tak punya banyak waktu mengelola berat badan,” katanya.

Yahya menambahkan, perempuan Indonesia rentan gemuk karena budaya menempatkan perempuan sebagai pihak yang bertanggung jawab menyiapkan makanan keluarga dan menyuapi anaknya. Ada makanan sisa anaknya cenderung dihabiskan.

Sikap itu ditunjang pandangan tabu membuang makanan sisa. ”Itu dianggap mubazir, menyia-nyiakan rezeki,” katanya.

Perempuan dari keluarga miskin justru rentan kurus atau kurang gizi. Budaya konsumsi makanan mengutamakan laki-laki membuat perempuan sering kali hanya mendapat sisa.

Sementara itu, laki-laki di negara maju lebih banyak yang gemuk karena kurang aktivitas fisik. Waktu habis di jalan akibat pola permukiman melebar ke luar kota. Jika ada waktu luang, biasanya untuk hobi yang tak butuh banyak aktivitas fisik. ”Modernisasi dan teknologi membuat aktivitas fisik turun,” kata Hermann Toplak, presiden terpilih Asosiasi Eropa untuk Studi Obesitas (EASO).

Di Indonesia, kegemukan juga banyak ditemukan di perdesaan. Mekanisasi pertanian, alih fungsi lahan, dan perubahan mata pencarian yang tak lagi menuntut kerja fisik membuat kalori warga tak banyak terbakar. Pada saat bersamaan, olahraga belum jadi gaya hidup dan perhatian serius pemerintah.
Pola pikir

Kegemukan bukan hanya persoalan kesehatan. Namun, ada aspek sosial, budaya, dan pembangunan wilayah yang melingkupinya. Meski demikian, ketidakseimbangan jumlah kalori asupan dengan yang dibakar melalui aktivitas fisik adalah indikator utama.

”Kegemukan adalah persoalan kebiasaan dan gaya hidup,” kata dokter spesialis gizi klinik Rumah Sakit MRCCC Siloam Jakarta, AR Inge Permadhi. Karena itu, butuh motivasi kuat menurunkan berat badan dan mengubah pola makan.

Sebagai persoalan budaya, kegemukan harus diatasi melalui pendekatan kebudayaan. ”Pandangan gemuk lambang kemakmuran hanya bisa diubah jika kampanye pola makan bergizi seimbang digencarkan dan masyarakat diajak berpikir logis dampak kegemukan,” kata Sri.

Menanamkan ide gemuk rentan menimbulkan masalah kesehatan dan sosial akan mudah dilakukan jika pengetahuan gizi diberikan kepada semua siswa di berbagai tingkat pendidikan. ”Mengubah pola pikir orang dewasa tentang kegemukan tentu lebih susah dibandingkan pada anak-anak,” tambah Yahya.

Nyatanya, anak-anak Indonesia pun kini sudah dihantui persoalan kegemukan. ”Wabah” itu menjangkiti banyak anak Indonesia, baik di kota maupun desa, dari kelompok ekonomi menengah atas atau bawah, tanpa pandang bulu tingkat pendidikan dan pekerjaan orangtuanya. (M.Zaid Wahyudi)

sumber :

http://health.kompas.com/read/2014/06/12/1603110/Bahaya.Lambang.Kemakmuran

10 Masalah Metabolisme Yang Pengaruhi Diet

langsing7

Tubuh manusia memerlukan energi untuk tetap hidup dengan cara membakar kalori, atau lebih dikenal dengan istilah metabolisme. Selain itu, proses ini mempunyai peran penting terhadap kenaikan berat badan karena berpengaruh kepada jumlah energi yang dibutuhkan oleh tubuh. Banyak orang merasa memiliki proses metabolisme yang lambat ketika tengah melakukan diet.

Untuk membuat tubuh tetap ramping, metabolisme yang berjalan cepat berpengaruh terhadap berat badan yang menjadi lebih cepat turun. Menurut ahli gizi di Deakin University Australia, Profesor Tim Crowe, ada beberapa cara yang digunakan untuk meningkatkan metabolisme, seperti mengonsumsi pil, suplemen dan makanan yang bisa meningkatkan metabolisme dan membakar lemak. Meski sudah mengusahakan segala cara, namun metabolisme bisa melambat karena beberapa faktor ini.

1. Massa Otot
Salah satu yang mempengaruhi metabolisme adalah jumlah jaringan otot pada tubuh Anda. Otot membutuhkan lebih banyak energi untuk berfungsi daripada lemak. Semakin banyak jaringan otot, maka semakin banyak pula energi yang dibutuhkan oleh tubuh. Salah satu bentuk olahraga yang dapat meningkatkan massa otot adalah pengangkatan beban, seperti push-up, squats atau berjongkok.

2. Usia
Semakin bertambahnya usia, maka tingkat metabolisme semakin menurun. Hal ini dikarenakan hilangnya sebagian jaringan otot serta perubahan hormonal dan neurologis. Sebaliknya, ketika bayi dan anak-anak memasuki masa pertumbuhan, semakin cepat pula proses metabolismenya.

3. Ukuran Tubuh
Seseorang yang mempunyai tubuh lebih besar biasanya mempunyai Basal Metabolisme Rate atau BMR yang besar. Hal ini disebabkan oleh organ internal yang lebih besar serta volume cairan yang diperlukan juga disesuaikan dengan kondisi tubuh. Manusia yang lebih tinggi memiliki permukaan kulit yang lebih besar sehingga tubuh mereka harus bekerja lebih keras untuk mempertahankan suhu yang tetap.

4. Jenis Kelamin
Perbedaan jenis kelamin juga merupakan faktor yang mempengaruhi dalam proses metabolisme. Seorang pria biasanya memiliki postur tubuh yang lebih besar dari wanita, sehingga pada umumnya mereka memiliki proses metabolisme yang lebih cepat.

5. Genetika
Faktor lain yang dapat mempengaruhi proses metabolisme adalah faktor genetik atau keturunan. Faktor ini mempunyai peranan penting untuk menentukan apakah seseorang mempunyai proses metabolisme yang cepat atau lambat. Selain itu, beberapa kelainan genetik juga dapat mempengaruhi proses metabolisme.

6. Aktivitas Fisik
Salah satu bentuk kegiatan fisik yang dapat mempengaruhi proses metabolisme adalah olahraga. Apabila dilakukan secara teratur dapat meningkatkan massa otot dan mendorong tubuh Anda untuk membakar lemak lebih cepat, bahkan pada saat beristirahat.

7. Hormonal
Ketidak seimbangan hormon dapat disebabkan oleh kondisi tertentu, seperti hipotiroid, yaitu suatu kondisi di mana kelenjar tiroid yang terletak diantara rongga leher tidak memproduksi hormon tiroid dengan baik. Selain itu, hipertiroid atau kelebihan hormon tiroid juga bisa menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi proses metabolisme.

8. Lingkungan
Salah satu faktor lain yang dapat mempengaruhi proses metabolisme adalah cuaca. Apabila cuaca terlalu dingin atau panas, maka tubuh akan bekerja lebih keras untuk mempertahankan suhu normalnya sehingga tingkat metabolisme juga lebih meningkat.

9. Obat-obatan
Kafein yang terdapat dalam secangkir kopi serta nikotin pada rokok, dapat meningkatkan tingkat metabolisme. Sementara beberapa obat-obatan seperti obat anti depresi dan anabolik streoid, semacam obat kuat untuk membantu membangun jaringan otot, dapat berkontribusi untuk menaikkan berat badan terlepas dari apa yang kita konsumsi.

10. Diet
Diet juga merupakan salah satu aspek tertentu yang dapat mempengaruhi metabolisme. Sebagai contoh, jika Anda mengurangi frekuensi makan, akibatnya tubuh kekurangan nutrisi dan mengambilnya dari otot sehingga kerja otot menjadi tidak maksimal dan proses metabolisme menjadi lambat.

sumber:

http://wolipop.detik.com/read/2014/09/10/150711/2686550/849/10-faktor-yang-pengaruhi-proses-metabolisme-terhadap-berat-badan

Melawan Gemuk

Image

Setiap orang berharap memiliki tubuh ideal yang celakanya proporsi tersebut ditentukan oleh iklan dan bincang-bincang seputar warung kopi. Yaitu tentang tubuh langsing semampai untuk para perempuan dan tinggi tegap berperut rata bahkan six pack bagi kaum prianya.

Bagaimana dengan si gendut? Pastinya merasa terpinggirkan. Walau ada pendapat bahwa sehatlah yang terpenting bukan gemuk dan kurus, tapi cobalah lihat komentar miring pada Afriyani, pengendara maut yang mengakibatkan 12 orang tewas. Banyak komentar pedas yang mengarah pada tubuh gemuknya, padahal apa hubungannya?

Saya termasuk kaum gemuk, khususnya gemuk genetik. Semasa remaja, sementara orang lain makan banyak tanpa takut gemuk, saya harus menahan diri jika enggan ukuran lengan, perut, pinggang dan paha membesar perlahan tapi pasti. Selain itu saya juga mendisiplinkan diri untuk olah raga teratur. Bahkan ketika masih kuliah, saya terbiasa lari pagi 20 kalimengelilingi lapangan Lodaya Bandung.

Anak sulung saya rupanya mewarisi gen obesitas. Ditambah kebiasaan anak urban yang lebih banyak menghabiskan waktu di depan televisi, komputer dan meja belajar maka dia menjadi anak yang gemuk. Walaupun bukan tergemuk diantara teman-teman sekolahnya.

Keadaannya sungguh dilematis, diusia pertumbuhan sangat riskan menjalani diet. Karena itu selain mengurangi karbohidrat (nasi dan camilan) dia mengikuti berbagai olah raga. Tetapi kegiatan berolah raga diusia remaja ternyata sering terkendala teman. Begitu rekan-rekannya bubar maka terhenti pula kegiatan futsal, bulutangkis dan ngegym bareng. Tubuhpun melar kembali.

Ketika lulus S1 dan kegiatan di depan meja belajar relatif berkurang, dia mengutarakan keinginan untuk melangsingkan tubuh kembali.Kali ini bertekad berolah raga sendiri sehingga tidak terpengaruh ada tidaknya teman. Apa saja yang dilakukannya untuk menurunkan berat badan sebanyak 10 kg? Ini dia:

  • Minum juice untuk memperbanyak asupan serat dan meningkatkan kerja metabolisme tubuh. Berbagai juice dia teguk: tomat, melon, alpukat, jambu biji, apel, pepaya. Sehari dua kali, pagi dan sore. Ketika membuat juice terkadang saya memasukkan sedikit gula agar rasanya enak, karena ‘siksaan diet’ sering menggagalkan program.
  • Makan nasi dengan piring kecil. Nasi dibatasi hanya satu sendok nasi sedangkan jumlah sayuran lebih longgar khususnya sayuran tidak bersantan seperti sayur bening dan sayur pecel (gado-gado/lotek).
  • Mengurangi daging merah dan sebisa mungkin menghindari lauk pauk yang digoreng. Jadi yang disantap hanya ikan dan ayam yang dipepes atau disemur.
  • Mengganti protein hewani dengan protein nabati karena ternyata tempe dan tahu dapat diolah menjadi aneka variasi masakan seperti tahu schotel, sate tempe,pepes tahu dan jamur.
  • Mendisiplinkan diri makan malam hanya di sore hari, sekitar pukul 17.00 – 18.00 WIB, sesudah itu dia tidak makan apapun. Jika tiba-tiba terasa lapar diantara waktu makan, dia hanya mau meneguk juice. Untunglah kegiatan belajar hingga tengah malam sudah berakhir sehingga bisa segera tidur dan tidak tergoda ngemil pada malam hari.
  • Sekali-kali memanjakan diri makan makanan kesukaan yang berkalori tinggi seperti blackforest dan brownies. Biasanya dia tidak akan makan terlalu banyakkarena selain merasa kenyang minum air putih dan juice,juga mulai terbiasa berhitung berapa banyak kalori yang harus dibuang sesudah makan makanan berlemak tersebut.
  • Olah raga lari mengelilingi kompleks perumahan sesuai jadwal kegiatan. Sehingga bisa fleksibel, bisa pagi atau sore hari. Yang tetap adalah jumlah jam yang ditentukannya sendiri. Jika dulu saya menetapkan 20 kali putaran, anak saya menetapkan sendiri lamanya olah raga lari yaitu satu jam. Selain itu dia juga sit-up dengan bantuan alat, sedangkan saya karena terbiasa semenjak gadis maka sanggup sit-up tanpa alat hingga 100 kali hitungan.
  • Segera merombak baju (kemeja dan celana panjang) yang berubah menjadi longgar seiring menyusutnya tubuh. Hal ini membantunya untuk ceria dan percaya diri sebagai ‘manusia baru’ yang pasti akan segera disambut pujian teman-temannya. Untuk perkara memuji ini, saya juga banyak menghamburkan pujian karena senang rasanya melihatnya berseri-seri dengan tubuh lebih tegap.

Di tengah menjalani program pengurangan berat tubuh, kebetulan waktunya bertepatan dengan bulan Ramadhan. Untunglah anak saya tidak manja, dia meneruskan program dan tetap berlari di sore hari menggunakan waktu ngabuburit menjelang berbuka puasa.

Hasilnya cukup memuaskan. Dari berat badan 86 kg, timbangan badan sempat menyentuh angka 73 kg. Sekarang naik ke angka 76 kg karena sibuk menempuh S2 di kampusnya dan tentu saja asyik kembali di depan komputer dan meja belajar. Selain itu dia hanya sempat sit-up di rumah, hampir tidak mempunyai waktu senggang untuk berolah raga lari lagi.

Menurut pengalaman, menurunkan berat badan lebih sulit dibanding mempertahankannya. Demikian juga si sulung, ketika ‘kekang diet’ dibuka, dia bisa menyantap makanan kesukaan, maksimal sekali sehari. Juga jajan di luar rumah yang umumnya tinggi karbohidrat. Tetapi asupan sayuran dan buah-buahan harus dijaga tetap tinggi karena membantunya cepat kenyang dan tentunya menyehatkan.

Sebagai indikator pembantu menjaga berat tubuh adalah baju yang sudah dirombak sesuai proporsi tubuh yang baru. Jika baju terasa menyempit, celana panjang bagian paha terasa tidak nyaman bahkan di bagian pinggang terdapat bilur-bilur merah maka itu berarti warning perlu melakukan pengurangan jumlah asupan kalori dan menambah porsi olah-raga. Mudah bukan?

Gemuk atau kurus mungkin hanya sekedar kata, tapi puluhan tahun berperang melawan kegemukan membuat saya makin memahami betapa menyenangkan mempunyai tubuh yang langsing dan sehat. Dengan mudah dan ringan, saya bisa naik turun angkutan umum dan bus kota. Dengan gesit pula saya bisa menuruni anak tangga yang curam dan licin menuju komunitas bantaran sungai. Khusus untuk si sulung, saya melihat perubahan yang berarti yaitu lebih sehat dan lincah. Ketika beberapa hari yang lalu dia tertular virus flu, dengan cepat tubuhnya memulihkan diri, padahal dulu memerlukan waktu minimal seminggu lamanya. Dan yang pasti, dia lebih tampan dengan proporsi tubuh idealnya, iyalah anak sendiri ………… tentulah paling tampan sekampusnya ^_^